Sabtu, 01 Juni 2013

HIPERTENSI

HIPERTENSI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Indonesia Cinta Sehat merupakan cermin sikap dan perilaku segenap bangsa Indonesia  yang mencintai kesehatan dirinya, keluarganya, dan lingkungannya. Hal itu adalah kunci keberhasilan bagi terwujudnya masyarakat sehat yang mandiri. Itu adalah salah satu program jaminan kesehatan semesta pada tahun 2019, seluruh penduduk Indonesia mempunyai jaminan kesehatan. Ini berarti bahwa masyarakat Indonesia diharapkan dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang komprehensif dan bermutu (Profil Kemenkes RI, 2012).
 Perubahan dari negara agraris ke negara industri membawa kecenderungan baru dalam pola penyakit didalam masyarakat di indonesia yaitu perubahan penyakit menular menjadi tidak menular atau sering disebut dengan transisi epidemologi. Penyakit tidak menular dapat muncul melalui gaya hidup (life style), hal ini merupakan faktor pemicu munculnya penyakit degeneratif (Bustan, 1995).
Hasil Sensus Penduduk tahun 2010, indonesia saat ini termasuk ke dalam lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yakni 18,1 juta jiwa atau 9,6% dari jumlah penduduk. Berdasarkan proyeksi Bappenas, jumlah penduduk lansia 60 tahun atau lebih diperkirakan  akan meningkat dari 18,1 juta (2010) menjadi 29,1 juta (2020) dan 36 juta (2025). Dengan meningkatnya jumlah lanjut usia, tentunya akan diikuti dengan meningkatnya permasalahan kesehatan pada lanjut usia (Profile Kemenkes RI, 2012).
Salah satu yang harus diperhatikan dengan  serius yaitu pada lanjut usia adalah proses degeneratif, yang dapat menimbulkan berbagai macam masalah kesehatan diantaranya hipertensi, ini terjadi karena adanya perubahan elastisitas pembuluh darah, dan keadaan ini diperberat dengan terjadinya penimbunan lemak pada dinding pembulu darah. Hal ini didukung dengan prevalensi hipertensi secara nasional mencapai 31,7% yang pada umumnya terjadi pada usia pertengahan dan  lanjut usia baik karena gaya hidup maupun proses degeneratif (Ridwan, 2009; Dewi & Familia, 2010; Riskesnas, 2007).
Pada lanjut usia didapatkan beberapa faktor-faktor yang dapat  menyebabkan hipertensi diantaranya faktor genetik (keturunan), umur, zat toksin, Jenis kelamin, Etnis, Stres, obesitas, nutrisi, merokok, narkoba, alkohol, kafein, kurangnya olahraga, kolesterol tinggi, kelainan ginjal, konsumsi natrium yang tinggi yang masuk kedalam tubuh (Susilo & Wulandari, 2011)
Hal ini didukung dengan adanya penelitian tentang hipertensi pada lanjut usia di poliklinik geriatri RSCM menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan olahraga dengan hipertensi dengan P value sebesar 0,004 dan odds ratio sebesar 3,98 kali. Dan ada hubungan yang bermakna antara merokok dengan hipertensi yang P valuenya sebesar 0,03 dan odds rasio sebesar 3,47. Lanjut usia yang hipertensi lebih banyak didapatkan dengan kebiasaan merokok yakni sebesar 84,4% dibandingkan dengan yang tidak merokok yakni sebesar 60,9% (Sanusi, 2002).
Data penelitian tentang pola makan pada lansia hipertensi di RS dr. Kariandri Semarang, tentang kebiasaan mengkonsumsi lemak jenuh yaitu ≥ 3 kali dalam seminggu terbukti sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kejadian hipertensi (p = 0,02, OR = 7,72 dan 95% Cl = 2,45 – 24,38). Hal ini menunjukkan bahwa orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi lemak jenuh akan berisiko terserang hipertensi sebesar 7,72 kali dibandingkan orang yang tidak biasa mengkonsumsi lemak jenuh (Margaret, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian fauziyah rahma (2011) memaparkan tentang kebiasaan mengkonsumsi natrium Menyatakan bahwa secara umum tingkat konsumsi asin (konsumsi natrium) dalam jumlah yang cukup tinggi berisiko mengalami hipertensi (p = 0,0001, OR = 3,95 dan 95% Cl 1,87 – 8,36).
Penelitian pada lansia di Kota Depok didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara stres dan hipertensi. Lansia yang mengalami stres tinggi sebesar 70,9%, stres sedang sebesar 65,2% dan stress rendah sebesar 38,5% terhadap hipertensi. Stres tinggi berpeluang 3,89 kali dan stres sedang berpeluang 2,99 kali terhadap hipertensi dibandingkan dengan stress rendah (Hasirungun, 2002).
Berdasarkan data di DINKES Provinsi Lampung bahwa, penyakit hipertensi di setiap tahunnya selalu masuk ke dalam  10 (sepuluh) besar penyakit yang diderita masyarakat dimana pada tahun 2004 menduduki peringkat VIII  sebanya 89.204 kasus atau 6,58 % , tahun 2005 peringkat ke VI sebanyak 110.622 kasus atau 7,33 % dan pada tahun 2006 peringkat ke III sebanyak 52.147 kasus atau 9,87 %, dan pada tahun 2008  urutan 7 yang mana mengalami penurunan 4,21% atau 65.282, sedangkan pada tahun 2011 mengalami peningkatan yang sepesifik yaitu 77.521 menjadi peringkat ke 4 dengan demikin hiertensi merupakan  maslah kesehatan yang ada di 10 (sepuluh) besar penyakit yang diderita masyarakat tiap tahunnya ( DINKES Provinsi Lampung, 2004, 2005, 2006, 2008, 2011).
Penyakit hiertensi di kabupaten Mesuji pada tahun 2011 mencapai 14.746 kasus, dengan data ini penyakit hipertensi masuk kedalam 10 penyakit  terbesar yang menjadi perhatian khusus Dinas kesehatan Mesuji ( DINKES Mesuji, 2011).
Menurut data yang di peroleh dari puskesmas simpang pematang, penyakit hipertensi pada lanjut usia cenderung mengalami peningkatan  dengan data  presentasinya pada tahun 2008 dari 410 kasus hipertensi, 40% atau 167 kasus terjadi pada lansia. Hal ini cenderung meningkat pada tahun 2012 terdapat peningkatan cukup tinggi dari 494 kasus, 47,36% atau 234 kasus yang terjadi pada lansia. Data tersebut dapat di buat diagram  pertahunnya sebagai berikut :
Table 1,1. distribusi penyakit hipertensi berdasarkan presentasi lanjut usia pertahunya yang mengalami hipertensi di wilayah kerja puskesmas simpang pematang priode 2008-2012.







Sumber : LB 1 puskesmas simpang pematang kabupaten Mesuji 2008-2012
     hasil pra survey pada usia lanjut yang dilakukan peneliti wilayah kerja puskesmas simpang pematang dari 10 orang lanjut usia, didapatkan 6 orang (60%) mengalami hipertensi dan 4 orang (40%) tidak mengalami hipertensi, 5 orang (50%) pola makan tinggi garam dan 5 orang (50%) rendah garam, 4 orang (40%) merokok dan 6 orang (60%) tidak merokok , 5 orang (50%) tidak berolah raga dan 5 orang (50%) berolah raga, 7 orang (70%) stres dan 3 orang (30%) tidak stres.
Dari data diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar penyakit hipertensi di wilayah kerja Puskesmas simpang pematang kabupaten mesuji presentasi tertinggi terjadi pada lanjut usia. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Hubungan  Gaya Hidup Dengan Kejadian Penyakit Hipertensi Pada Usia Lanjut di Wilayah Kerja Puskesmas  simpang pematang  Kabupaten Mesuji provinsi lampung tahun 2013”.
1.2                   Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :“ Apakah ada hubungan antara gaya hidup dengan kejadian penyakit hipertensi pada usia lanjut di wilayah kerja Puskesmas simpang pematang Kabupaten mesuji provinsi lampung“.
1.3               Tujuan Penelitian
            a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan gaya hidup dengan kejadian penyakit hipertensi pada Lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas simpang pematang Kabupaten mesuji provinsi lampung.
            b.  Tujuan Khusus
1.      Untuk mengetahui distribusi frekuensi penyakit hipertensi pada lanjut usia.
2.      Untuk mengetahui distribusi frekuensi konsumsi Natrim (Na) pada usia lanjut.
3.      Untuk mengetahui distribusi frekuensi olahraga pada usia lanjut.
4.      Untuk mengetahui distribusi frekuensi kebiasaan merokok pada usia laanjut.
5.      Untuk mengetahui distribusi frekuensi stres pada usia lanjut.
6.      Untuk mengetahui hubungan konsumsi natrium (Na) terhadap kejadian penyakit hipertensi pada usia lanjut.
7.      Untuk mengetahui hubungan olahraga terhadap kejadian penyakit hipertensi pada usia lanjut.
8.      Untuk mengetahui hubungan merokok terhadap kejadian penyakit hipertensi pada usia lanjut.
9.      Untuk mengetahui hubungan stres terhadap kejadian penyakit hipertensi pada usia lanjut.

1.4               Manfaat Penelitian
1.      Bagi Praktis atau aplikatif
      Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk masukan dalam rangka meningkatkan upaya-upaya pencegahan Hipertensi kususnya pada lansia di wilayah kerja puskesmas Simpang Pematang Kab. Mesuji.
2.      Bagi Teoritis atau Akademis
1.      Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti khususnya tentang penyakit hipertensi sehingga dapat menerapkan ilmu yang didapat selama perkuliahan kedalam masyarakat sehingga dapat membantu meningkatkan wawasan masyarakat.


2.      Bagi Institusi Pendidikan
Menambah khasanah kepustakaan yang dapat dijadikan salah satu rujukan dalam pembuatan tugas-tugas kemahasiswaan terkait dengan pengembangan ilmu keperawatan di universitas malahayati.
3.      Bagi objek penelitian
Sebagai bahan masukan untuk mnejadi dasar petimbangan resonden untuk pentingnya mengontrol kesehatanya.
4.      Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bahan penelitiandan menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya tentang penyakit hipertensi.

1.5              Ruang lingkup
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup penelitian sebagai berikut : jenis penelitian kuantitatif, desain penelitian ini analitik pendekatan cross sectional, objek dalam penelitian ini sebagai variabel independent yaitu gaya hidup (konsumsi tinggi natrium, olahraga, merokok dan stres) dan sebagai variabel dependent adalah kejadian penyakit hipertensi pada lanjut usia, sabjek penelitian ini adalah lanjut usia di wilayah kerja Puskesmas Simpang Pematang Kab. Mesuji Provinsi lampung, dan waktu penelitian bulan Maret – Mei 2013.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Hipertensi
2.1.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah penyakit kelainan jantung dan pembulu darah yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah, yaitu peningkatan tekanan darah yang menetap di atas batas normal yaitu sistolik 140 mmHg dan diastolik 90 mmHg ((Dewi & Familia 2010; Wilson, 2006).
Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang memberikan gejala yang akan berlanjut untuk suatu target organ seperti stroke (untuk otak), penyakit jantung koroner (untuk pembuluh darah), dan left ventricle hypertrophy (untuk otot jantung). Dengan target di otak yang berupa stroke, hipertensi adalah penyebab utama stroke yang membawa kematian yang tinggi (Bustan, 2000).
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik yang menetap. Pada waktu anda membaca tekanan darah bagian atas adalah tekanan darah sistolik, sedangkan bagian bawah adalah tekanan diastolik. Tekanan sistolik (bagian atas) adalah tekanan puncak yang tercapai pada waktu jantung berkontraksi dan memompakan darah melalui arteri. Sedangkan tekanan diastolik (angka bawah) adalah tekanan pada waktu jatuh ke titik terendah dalam arteri. Secara sederhana seseorang disebut hipertensi apabila tekanan darah sistolik di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih besar dari 90 mmHg. Tekanan darah yang ideal adalah 120/80 mmHg (Sunardi, 2000).
Jadi dapat disimpulkan menurut peneliti Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah  dengan hasil pengukuran tekanan darah diatas batas normal yaitu 140/90 mmHg, yang dilakukan dua kali dengan selisih waktu 5 – 10 menit dengan hasil diatas batas normal dan yang menjadi landasanya adalah hasil pengukuran yang paling tinggi.
.
2.1.2        Klasifikasi Hipertensi
1.      Klasifikasi berdasarkan Etiologi
a.       Hipertensi Esensial atau Primer
Tidak jelas penyebabnya dan merupakan sebagian besar ± 90% dari seluruh kejadian hipertensi. Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktoral yang timbul terutama karena interaksi antara faktor-faktor risiko tertentu. Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol (Ditjen Bina Kefarmasian, 2006;Yogiantoro, 2006).
Penyebab pertama hipertensi yaitu gaya hidup modern, sebab dalam gaya hidup modern situasi penuh tekanan dan stres. Dalam kondisi tertekan, adrenalin dan kortisol dilepaskan ke aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah. Gaya hidup yang penuh kesibukan juga membuat orang kurang berolah raga dan berusaha mengatasi stresnya dengan merokok, minum alkohol atau kopi sehingga risiko terkena hipertensi menjadi lebih tinggi. Kedua yaitu pola makan yang salah dan yang ketiga adalah berat badan berlebih (Gunawan, 2004).
b.       Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, sering berhubungan dengan beberapa penyakit misalnya ginjal, jantung koroner, diabetes, kelainan sistem syaraf pusat. Jumlah kejadiannya mencapai 10% (Sunardi, 2000).
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan sebagai akibat dari adanya penyakit lain. Jika penyebabnya diketahui, maka disebut hipertensi sekunder. Pada sekitar 5 - 10 % penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1 – 2 % penyebabnya adalah kelainan hormon atau pemakaian obat tertentu misalnya pil KB (Nugroho, 1995).
2.      Klasifikasi berdasarkan derajat Hipertensi
Berikut ini adalah klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa berdasarkan JNC-VII (The Joint National Committee On Prevention, Detection Evaluation, and Treatment Of High Blood Pressure (JNC, 7)
Kategori
Tekanan darah sistolik
mmHg
Tekanan darah diastolic
mmHg
Normal
120
< 80
Pre hipertensi
120 – 139
80 – 89
Stadium 1
Hipertensi ringan
(mild hypertension)
140 – 159
90 – 99
Stadium 2
Hipertensi sedang
(moderate Hypertension)
160 – 159
100 – 109
Stadim 3
Hiertensi berat
(severe Hypertension)
180 – 209
110 – 119
Stadium 4
Hipertension maligna
(very severe Hypertension)
210 atau lebih
120 atau lebih
               Sumber : Gray, 2005
2.1.3        Cara Pengukuran Tekanan Darah
1.      Atur posisi klien yang nyaman
2.      Letakkan lengan yang hendak diukur dalam posisi terlentang.
3.      Jika klien menggunakan lengan baju sebaiknya dibuka.
4.      Pasang manset pada lengan kanan/kiri atas sekitar 3 cm diatas fossa cubiti (jangan terlalu ketat maupun terlalu longgar).
5.      Tentukan denyut nadi arteri radialis dekstra/sinistra.
6.      Pompa balon udara manset sampai denyut nadi arteri radialis tidak teraba.
7.      Pompa terus sampai manometer setinggi 200 mmHg dari titik radialis tidak teraba.
8.      Letakkan diaragma stetoskop diatas brangkialis dan dengarkan.
9.      Kempeskan balon udara manset secara perlahan dan berkesinambungan dengan memutar sekrup pada pompa udara berlawanan arah jarum jam.
10.  Catat air raksa manometer saat pertama kali terdengar kembali denyut.
11.  Catat tinggi air raksa pada manometer yaitu suara korotkoff 1 menunjukan besarnya tekanan sistolik dan suara korotkoff 5 menunjukkan besarnya diastolik ( Hidayat, 2012).
2.1.4        Faktor-faktor yang berhubungan dengan Hipertensi
Faktor risiko hipertensi bukanlah penyebab dari timbulnya penyakit hipertensi. Faktor risiko hanyalah pemicu munculnya suatu pernyakit, berikut ini beberapa faktor risiko timbulnya hipertensi adalah sebagai berikut :
1.             Umur
Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar diatas usia 65 tahun (Depkes, 2006).
Hipertensi berdasarkan gender ini dapat dipengaruhi oleh faktor psikologis. Wanita seringkali mengadopsi perilaku tidak sehat seperti merokok dan pola makan yang tidak seimbang sehingga menyebabkan kelebihan berat badan, depresi dan rendahnya status pekerjaan. Sedangkan kaum pria lebih berkaitan erat dengan pekerjaan seperti perasaan kurang nyaman terhadap pekerjaan dan pengangguran (Sutanto, 2010).
Menurut Krummel (2004) memaparkan bahwa tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis.
 Penyakit hipertensi umumnya berkembang pada saat umur seseorang mencapai paruh baya yakni cenderung meningkat khususnya yang berusia lebih dari 40 tahun bahkan pada usia lebih dari 60 tahun keatas. Setelah usia 45 tahun terjadi peningkatan resistensi perifer dan aktivitas simpatik. Dinding arteri akan mengalami penebalan oleh karena adanya penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan berangsur-angsur menyempit dan menjadi kaku. Disamping itu, pada lanjut usia sensitivitas pengaturan tekanan darah yaitu refleks baroreseptor mulai berkurang, demikian juga halnya dengan peran ginjal, dimana aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus menurun (Kumar, et all, 2005 ).

2.             Jenis kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih banyak dibandingkan wanita. Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibanding wanita. Namun setelah memasuki menopouse, prevalensi hipertensi pada wanita meningkat (Depkes, 2006).
Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormone estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses arterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun (Kumar,  2005).

3.             Riwayat keluarga
Riwayat keluarga mempertinggi risiko terkena penyakit hipertensi, terutama pada hipertensi primer (esensial). Tentunya faktor genetik ini juga dipengaruhi faktor-faktor lingkungan lain. Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel (Depkes, 2006).
Hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua kita mempunyai hipertensi maka sepanjang hidup kita mempunyai 25% kemungkinan terkena hiertensi juga. Jika kedua orang tua kita mempunyai hipertensi, kemungkinan kita mendapatkan penyakit tersebut 60% (Sheps, 2005).
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala (Sutanto, 2010).


4.             Etnis
Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang berkulit hitam daripada yang berkulit putih, serta lebih besar tingkat morbiditas maupun mortalitasnya. Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti penyebabnya. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa terdapat kelainan pada gen angiotensinogen tetapi mekanismenya mungkin bersifak poligenik (Gray, 2005).
Berbagai golongan etnik dapat berbeda dalam kebiasaan makan, susunan genetika, dan sebagainya yang dapat mengakibatkan angka kesakitan dan kematian. Salah satu contoh dari pengaruh pola makan yaitu angka tertinggi hipertensi di Indonesia tahun 2000 adalah suku Minang. Hal ini dikarenakan suku Minang atau orang yang tinggal di pantai, biasanya mengkonsumsi garam lebih banyak dan menyukai makanan asin (Cahyono, 2008).

5.             Obesitas
Obesitas juga erat kaitannya dengan kegemaran mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi lemak. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar masa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri, yang akan meimbulkan terjadinya kenaikan tekanan darah. Selain itu, kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung (Sheps, 2005).
 Sedangkan hipertensi pada seseorang yang kurus atau normal bisa juga disebabkan oleh sistem saraf simpatis dan sistem renin angiotensin (Suhardjono, 2006).
Aktivitas dari saraf simpatis adalah mengatur fungsi saraf dan hormon, sehingga dapat meningkatkan denyut jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan retensi air dan garam (Syaifudin, 2006).
 Dan pada sistem renin-angiotensin, rennin memicu produksi aldosteron yang akan mempengaruhi ginjal untuk menahan air dan natrium sedangkan angiotensin akan mengecilkan diameter pembuluh darah sehingga tekanan darah akan naik (Gray, 2005)

6.             Konsumsi natrium (Na)
Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan peningkatan jumlah natrium didalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya kembali, cairan intraseluler harus ditarik keluar sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatanya volume darah, sehingga berdampak pada timbulnya hipertensi (Sutanto, 2010).
Disamping itu, diet tinggi garam dapat mengecilkan diameter dari arteri. Sehingga jantung harus memompa lebih keras untuk mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang yang makin sempit. Maka terjadilah penyakit hipertensi. Diet yang mengandung 500 mg Na dapat mempertahankan kadar Na yang normal dalam tubuh. Asupan yang melebihi jumlah ini didasarkan atas rasa bukan kebutuhan. Makanan yang sudah diproses biasanya mengandung Na yang tinggi. Pada umumnya, makin diproses suatu makanan maka makin tinggi kandungan garamnya (Hull, 1996).

7.             Konsumsi lemak
Diet tinggi lemak berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh polivalen secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian, dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah (Hull, 1996).
Komponen lemak polivalen tidak jenuh, yang disebut asam lemak esensial, merupakan rintangan untuk zat-zat yang mirip hormon didalam darah yang disebut prostaglandin. Beberapa jenis prostaglandin membantu mengatur tekanan darah dengan melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan diameter dari arteri dan mengurangi jumlah darah yang harus dipompa oleh jantung. Tekanan darah berkurang bila asupan asam lemak esensisal dalam diet ditingkatkan. Lemak merupakan 42% dari kalori total yang dikonsumsi dalam diet rata-rata orang Amerika. Tekanan darah menurun bila lemak dikurangi sampai 25% dari total kalori (Hull, 1996).
8.             Konsumsi Alkohol
Alkohol dapat menaikkan tekanan darah, memperlemah jantung, mengentalkan darah dan menyebabkan kejang arteri (Sutanto, 2010).
Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol, diantaranya bahwa efek terhadap tekanan darah baru nampak apabila mengkonsumsi alkohol sekitar dua sampai tiga gelas ukuran standar setiap harinya. Di negara barat seperti Amerika, konsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan alkohol yang berlebihan dikalangan pria usia 40 tahun keatas (Depkes, 2006).
Konsumsi alkohol seharusnya kurang dari dua kali per hari pada lakilaki untuk pencegahan peningkatan tekanan darah. Bagi perempuan dan orang yang memiliki berat badan berlebih, direkomendasikan tidak lebih dari 1 kali minum per hari (Krummel, 2004).

9.             Kelainan Ginjal
Penurunan fungsi ginjal dalam penyaringan darah, menyebabkan sisa metabolisme yang seharusnya dibuang ikut beredar kembali ke bagian tubuh yang lain, Akibatnya volume darah total meningkat sehingga darah yang dikeluarkan jantung juga miningkat.  Hal ini mengakibatkan darah yang beredar melalui kapiler jaringan meningkat sehingga terjadi penyempitan kapiler dan menyebabkan tekanan darah meningkat (Dewi & Femilia, 2010).
10.         Merokok
Rokok mengandung ribuan zat kimia bebahaya bagi kesehatan tubuh, zat kimia tersebut yang berbahaya antara lain Nikotin, Tar dan Karbon monoksida. Nikotin adalah senyawa alkaloid yang merupakan zat racun yang mampu membuat pembuluh arteri mengeras, serta menimbulkan penumpukan lemak di saluran arteri pada jantung, akibatnya darah tidak terpompa secara baik melalui jantung. Tar meruakan zat yang dapat menyebabkan kekentalan darah, sehingga jantung harus memompa darah lebih kuat lagi. Nikotin juga dapat memacu pengeluaran zat catecolamine tubuh seperti hormon adrenalin, hormone tersebut dapat memacu jantung untuk berdetak lebih kencang, Akibatnya tekanan darah dan volume darah menjadi meningkat serta jantung menjadi lebih cepat lelah. Karbon monoksida (CO) dapat meningkatkan keasaman sel darah, akibatanya darah menjadi lebih kental dan menempel kedalam pembulu darah sehingga memaksa jantung bekerja lebih kuat lagi dan akibatnya tekanan daarah meningkat (Dewi & Femilia, 2010).
Hasil DEPKES RI bahwa dalam satu batang rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya termasuk 43 senyawa yang data membahayakan tubuh. Bahan utama rokok terdiri dari 3 zat, yaitu 1) Nikotin, merupakan salah satu jenis obat perangsang yang dapat merusak jantung dan sirkulasi darah dengan adanya penyempitan pembuluh darah, peningkatan denyut jantung, pengerasan pembuluh darah dan pengumpalan darah. 2) Tar, dapat mengakibatkan kerusakan sel paru-paru dan menyebabkan kanker. 3) Karbon Monoksida (CO), merupakan gas beracun yang dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen. Gas CO yang dihisap dapat menurunkan kapasitas sel darah merah untuk mengangkut oksigen, sehingga sel-sel tubuh akan mati. Di tubuh perokok, tempat untuk O2 ditempati oleh CO, karena kemampuan darah 200 kali lebih besar untuk mengikat CO ketimbang O2. Akibatnya otak, jantung dan organ vital tubuh lainnya akan kekurangan oksigen. Jika jaringan yang kekurangan oksigen adalah otak, maka akan terjadi stroke (kelumpuhan). Bila yang kekurangan oksigen adalah jantung, maka akan terjadi serangan jantung. Zat kimia dalam tembakau dapat merusak lapisan dalam dinding arteri sehingga arteri rentan terhadap penumpukan plak (Depkes, 2008).

11.         Olahraga
Olahraga sering dihubungkan dengan pengobatan hipertensi, hal ini dikarenakan olahraga yang teratur dapat melancarkan peredaran darah sehingga dapat menurunkan tekanan darah, menurunkan obesita dan dapat mengurangi asupan garam ke dalam tubuh (Dewi & Familia, 2010). 
Olahraga dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner melalui mekanisme; penurunan denyut jantung dan tekanan darah, penurunan tonus saraf simpatik, meningkatkan diameter arteri koroner, dan sistem kolateralisasi pembuluh darah, meningkatkan HDL dan menurunkan LDL darah. Melalui kegiatan olahraga, jantung dapat bekerja secara lebih efisien ( Lee, 2002).
Frekuensi denyut nadi berkurang, namun kekuatan memompa jantung semakin kuat, penurunan kebutuhan oksigen jantung pada intensitas tertentu, penurunan lemak dan berat badan serta menurunkan tekanan darah (Cahyono, 2008).     
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa berolahraga secara teratur merupakan intervensi pertama untuk mengendalikan berbagai penyakit degeneratif (tidak menular). Hasilnya secara teratur terbukti bermanfaat untuk menurunkan tekanan darah, mengurangi risiko stroke, serangan jantung, dan lain-lain. Pengaruh olahraga dalam jangka panjang sekitar 4-6 bulan dapat menurunkan tekanan darah sebesar 7,4/5,8 mmHg tanpa bantuan obat hipertensi. Pengaruh penurunan tekanan darah ini dapat berlangsung sampai sekitar 20 jam setelah berolahraga (Sutanto, 2010).

12.         Stres
Stres adalah respon fisiologi, psikologi, dan perilaku seseorang individu dalam menghadapi penyesuaian diri terhadap tekanan yang bersifat internal maupun eksternal (Cahyono, 2008).
Stres adalah respon tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan beban (stresor psikososial) yang berdampak pada sistem kardiovaskuler. Stresor Psikososial itu sendiri terdiri dari: perkawinan, orangtua, antar pribadi, pekerjaan, lingkungan, keuangan, hukum, perkembangan, penyakit fisik, faktor keluarga, dan trauma (Hawari, 2001).
stres atau ketegangan jiwa (rasa murung, tertekan, marah, dendam, takut dan bersalah). Ketika otak menerima sinyal bahwa seseorang sedang stres, perintah untuk meningkatkan sistem saraf simpatik berjalan dan mengakibatkan hormon stress dan adrenalin meningkat. Hati melepaskan gula dan lemak dalam darah untuk menambah bahan bakar. Nafas menjadi lebih cepat sehingga jumlah oksigen bertambah. Sehingga menyebabkan kerja jantung menjadi semakin cepat (Depkes RI, 2006).

2.1.5        Diagnosis Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang menetap di atas batas normal yaitu sistolik 140 mmHg dan diastolik 90 mmHg, dengan cara pengukuran darah minimal 2 kali dan pastikan tidak ada perbedaan antara kedua lengan. Jika terdapat perbedaan, lengan yang mempunyai angka lebih tinggi digunakan sebagai patokan pengukuran berikutnya. Dalam setiap kesempatan pengukuran tekanan darah harus di usahakan 2 kali  dengan jarak cukup lama (paling sedikit 5-10 menit)(Wilson, 2006; Gray.,et al.,2005).
Menurut Depkes (2006), upaya deteksi faktor risiko penyakit hipertensi dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut :
1.    Wawancara dengan menggunakan kuesioner yang meliputi identitas diri, riwayat penyakit, riwayat anggota keluarga, perubahan aktifitas atau kebiasaan (seperti merokok, konsumsi makanan, riwayat dan faktor psikososial lingkungan keluarga, dan lain-lain)
2.    Pengukuran tekanan darah.
3.    Pengukuran indeks antropometri, seperti pengukuran berat badan dan tinggi badan.
4.    Pemeriksaan penunjang. Menurut Mansjoer, dkk (2001) dalam Sugihartono (2007), pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium rutin yang dilakukan sebelum memulai terapi bertujuan menentukan adanya kerusakan organ dan faktor risiko lain atau mencari penyebab hipertensi. Biasanya diperiksa urinalisa, darah perifer lengkap, kimia darah (kalium, natrium, kreatinin, gula darah puasa, kolesterol total, kolesterol HDL).

2.1.6        Gejala Klinis Hipertensi
Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita hipertensi yaitu sakit kepala, pusing, gelisah, jantung berdebar, perdarahan hidung, sukar tidur, sesak nafas, cepat marah, telinga berdenging, tekuk terasa berat, berdebar dan sering kencing di malam hari. Gejala akibat komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai meliputi gangguan; penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal dan gangguan serebral (otak) yang mengakibatkan kejang dan perdarahan pembuluh darah otak yang mengakibatkan kelumpuhan, ganguan kesadaran hingga koma (Cahyono, 2008).

2.1.7        Patofisiologi Hipertensi
pada kondisi asupan garam yang berlebihan tubuh tidak dapat menahan terlalu banyak air sehingga volume cairan darah akan meningkat tampa disertai penambahan  ruang pada pembulu darah, selain itu berbagai faktor kecemasan, ketakutan, rokok, kurangnya berolahraga dan penyakit ginjal dll, ini dapat mempengaruhi respon pembulu darah. Hal ini dapat merespon sistem syaraf simpatis merangsang pembulu darah.. Medulla adrenal (kelenjar enghasil hormone yang berada diatas ginjal) mengeluarkan efinefrin (adrenalin) yang menyebabkan vasokontraksi (penyempitan) pembulu darah. Vasokontraksi menyebabkan aliran darah ke ginjal berkurang sehingga menyebabkan pelepasan rennin oleh ginjal. Mekanisme terjadinya hipertensi diawali dengan pembentukan angiotensin II dari angiotensi I oleh Angiotensin converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotenigen yang diproduksi oleh hati. Selanjutnya oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I, oleh ACE oleh paru-paru, angiotensi I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peran kunci dalam menaikan tekanan darah. Angiotensi II adalah zat yang terjadi secara alami yang menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan darah melalui vasokontriksi pembulu darah dan retensi (penyimpangan) garam dan air. Mekanisme kerja angiotensi II adalah sebagai berikut : pertama adalah meningkatkan skresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diprodusi oleh hipotalamus (klenjar pituitary) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urine. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang dieksekresikan ke luar tubuh, sehingga menjadi tinggi osmolalitasnya (pekat). Untuk mengencerkanya, volume ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Kedua adalah menstimulasi aldosteron dari kortek adrenal. Aldosteron meruakan hormon streroid yang memiliki peranan penting dalam ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, Aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl dengan cara mereabsobsi dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada giliranya akan meningkatkan volume dan tekanan darah (Sylvia, 2005).

2.1.8        Komplikasi Hipertensi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel arteri dan mempercepat artherosklerosis. Bila penderita memiliki faktor-faktor risiko kardiovaskular lain, maka akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya tersebut. Menurut Studi Farmingham, pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan risiko terkena penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer, dan gagal jantung (Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).
 Dalam Gray (2005) dan Suhardjono (2006), hipertensi yang tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya akan memperpendek harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Selain itu penurunan tekanan darah dapat mencegah demensia dan penurunan kognitif pada usia lanjut. Kemunduran kognitif ditandai dengan lupa pada hal-hal yang baru, akan tetapi masih dapat melakukan aktifitas sehari-hari. Kerusakan organ yang terjadi berkaitan dengan derajat keparahan hipertensi. Perubahanperubahan utama organ yang terjadi akibat hipertensi dapat dilihat dibawah ini:
1.      Jantung menyebabkan Komplikasi berupa infark miokard, angina pectoris, gagal jantung.
2.     Ginjal menyebabkan terjadinya gagal ginjal karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksik dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerous, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik.
3.    Otak menyebabkan komplikasi berupa stroke dan serangan iskemik. Stroke dapat timbul akibat pendarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat embulus yang terlepas dari pembuluh non-otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahi berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya anurisma.
4.    Mata menyebabkan komplikasi berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan sampai dengan kebutaan.
5.    Pembuluh perifer Penelitian meta-analisis yang melibatkan lebih dari 420.000 pasien telah menunjukkan hubungan yang kontinyu dan independen antara tekanan darah dengan stroke dan penyakit jantung koroner. Peningkatan tekanan diatolik >10 mmHg dalam jangka panjang akan meningkatkan risiko stroke sebesar 56% dan penyakit jantung koroner sebesar 37% (Gray, 2005).
6.    Diabetes melitus atau yang sering dikenal dengan penyakit kencing manis merupakan gangguan pengolahan gula (glukosa) oleh tubuh karena kekurangan insulin.

2.1.9        Penatalaksaan Hipertensi
Diketahui bahwa tingginya pendidikan dan pendapat pada masyarakat memiliki kemampuan yang lebih dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk melakukan pengobatan sedangkan dengan pendapatan yang rendah kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada, mungkin oleh karena tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli obat atau keperluan yang lain, hal itu dapat mengakibatkan penyakit yang diderita bertambah parah (Baliwati, 2004).
a.      Penatalaksanaan Non Farmakologis atau Perubahan Gaya Hidup
Terapi nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor resiko serta penyakit lain. Terapi nonfarmakologis meliputi : menghentikan merokok, menurunkan berat badan berlebih, menurunkan konsumsi alkohol berlebih, latihan fisik serta menurunkan asupan garam (Yogiantoro, 2006).
Meningkatkan konsumsi asupan buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak. Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi (Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).
b.      Penatalaksanaan Farmakologis
1.      Diuretik yaitu Hidroklorotiazid untuk Hipertensi ringan untuk retensi cairan.
2.      Sipatolitik yaitu pengahambat resetor beta
3.      Vasodilator arteriol
4.      Antagonis angiotensin (ACE inhibitor)
5.      Bloker kalsium antagonis.

2.2      Lanjut usia
Lansia merupakan kelompok umur dimana terjadi penurunan kondisi fisik/biologis, kondisi psikologis, serta perubahan kondisi sosial. Menurut UU No.13 Tahun 1998 dinyatakan bahwa usia 60 tahun ke atas adalah yang paling layak disebut lanjut usia. Menurut Smith (1999), menggolongkan usia lanjut menjadi tiga yaitu: young old (65-74 tahun); middle old (75-84 tahun) dan old-old (lebih dari 85 tahun).
 Sedangkan menurut WHO, lansia dapat diklasifikasikan menjadi usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lansia (elderly) 60-74 tahun, lansia tua (old) 75-90 tahun, lansia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
Menjadi lansia secara alami akan dialami oleh setiap orang. Prosesnya tidak dapat dihindari. Kekuatan fisik dan daya tahan tubuh pada lansia telah menurun, serta mekanisme kerja organ tubuh mulai terganggu. Berikut ini merupakan kedaan fisiologis lansia, yaitu:
1.      Proses menjadi tua merupakan proses alami secara fisiologis dan biologis yang terjadi pada seluruh organ dan sel tubuh.
2.      Berkurangnya kemampuan sensitifitas indera penciuman dan perasa pada lansia mengakibatkan selera makan menurun. Hal itu sering menyebabkan kurangnya asupan atau penggunaan bumbu, seperti kecap atau garam. Pada lansia cenderung berlebihan dalam penggunaannya dan hal ini akan berdampak pada menurunnya kesehatan lansia.
3.      Kekuatan, ketahanan dan kelenturan otot rangka berkurang, mengakibatkan kepala dan leher terfleksi ke depan, ruas tulang belakang mengalami kifosis, panggul dan lutut juga terfleksi sedikit. Keadaan tersebut menyebabkan postur tubuh terganggu (Sari, 2006).
Penyakit atau gangguan yang menonjol pada kelomok lansia adalah gangguan pembuluh darah yaitu hipertensi (Bustan, 2006).

2.3      Hipertensi pada Lanjut usia
Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolic yang intermiten atau menetap. Pengukuran tekanan darah serial 150/95 mmHg atau lebih tinggi pada orang yang berusia diatas 50 tahun memastikan hipertensi. Insiden hipertensi meningkat seiring bertambahnya usia (Stockslager , 2008).
Hipertensi lanjut usia dibedakan menjadi dua hipertensi dengan peningkatan sistolik dan diastolik dijumpai pada usia pertengahan hipertensi sistolik pada usia diatas 65 tahun. Tekanan diastolik meningkat usia sebelum 60 tahun dan menurun sesudah usia 60 tahun tekanan sistolik meningkat dengan bertambahnya usia (Temu Ilmiah Geriatri Semarang, 2008).
Hipertensi menjadi masalah pada lanjut usia karena sering ditemukan menjadi faktor utama pernyakit jantung dan penyakit koroner. Lebih dari separuh kematian diatas usia 60 tahun disebabkan oleh penyakit jantung dan serebrovaskuler. Hipertensi pada lanjut usia dibedakan atas:
a.       Hipertensi pada tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan atau tekanan sistolik sama atau lebih 90 mmHg.
b.      Hipertensi sistolik terisolasi tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg (Nugroho, 2008).

2.4      Hubungan konsumsi Natrium (Na) dengan Hipertensi pada lanjut usia
       Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler. Pengaturan keseimbangan natrium dalam darah diatur oleh ginjal. Sumber utama natrium adalah garam dapur atau NaCl, selain itu garam lainnya bisa dalam bentuk soda kue (NaHCO3), baking powder, natrium benzoat, dan vetsin (monosodium glutamat). Kelebihan natrium akan menyebabkan keracunan yang dalam keadaan akut menyebabkan edema dan hipertensi (Almatsier, 2006).
       Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan peningkatan tekanan cairan ekstraseluler. Untuk menormalkannya kembali, cairan intraseluler harus ditarik keluar sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatanya volume darah, sehingga berdampak pada timbulnya hipertensi (Sutanto, 2010).
       Makanan sehari-hari biasanya cukup mengandung natrium yang dibutuhkan sehingga tidak ada penetapan kebutuhan natrium sehari. WHO (1990) menganjurkan pembatasan konsumsi garam dapur hingga 3 gram sehari atau sama dengan 2400 mg natrium, sebagai perbandingan satu sendok teh mengandung sekitar 2,4 gram garam (Sunita, 2005).
            Hasil penelitian yulina suheni (2011) tentang Kebiasaan mengkonsumsi asin bukan merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi dengan nilai p = 1,00; OR = 1,04 dan 95% Cl = 0,20 – 5,34, tetapi penelitian gunawan (2011) tentang kebiasaan mengkonsumsi natrium merupakan resiko dengan hasil Setelah dilakukan uji chi square dengan derajat kepercayaan (CI) 95 % dengan nilai α = 0,05 ternyata nilai P value (0,000) < 0,05 dengan OR 4,655 kali dengan confidence Interval 95 % berkisar antara 2,678 – 8,089.

2.5      Hubungan olahraga dengan Hipertensi pada lanjut usia
Olahraga secara teratur idealnya dilakukan tiga hingga lima kali dalam seminggu dan minimal 30 menit setiap sesinya (Sutanto, 2010).
Adapun macam-macam aktivitas fisik yang baik dilakukan oleh lansia untuk memulihkan kesegaran fisiknya menurut Depkes Ri (1997) antara lain :
1.   Pekerjaan rumah dan berkebun
2.   Berjalan-jalan
3.   Latihan aerobik dan senam
4.   Jogging
Hasil penelitian Sanusi (2002) di poli klinik geriatri RS Cipto Mangunkusumo diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara aktifitas fisik dengan hipertensi.
Sedangkan penelitian Sugihartono (2007) menyatakan bahwa tidak bisa melakukan olahraga mempunyai risiko menderita hipertensi sebesar 4,73 kali dan olah raga tidak ideal mempunyai risiko sebesar 3,46 kali dibandingkan orang yang mempunyai kebiasaan olah raga ideal.

2.6      Hubungan merokok dengan Hipertensi pada lanjut usia
Merokok sebatang setiap hari akan meningkatkan tekanan sistolik 10–25 mmHg dan menambah detak jantung lima sampai 20 kali per menit (Suheni, 2007).
Asap rokok bukan saja memberikan dampak buruk bagi perokok, melainkan juga bagi orang lain yang menghisap asap rokok tersebut tanpa dirinya sendriri merokok (disebut perokok pasif). Para ilmuwan membuktikan bahwa zat-zat kimia yang dikandung asap rokok dapat mempengaruhi kesehatan orang-orang disekitar perokok yang tidak merokok. Dampak bahaya merokok tidak langsung bisa dirasakan dalam jangka pendek tetapi terakumulasi beberapa tahun kemudian, terasa setelah 10-20 tahun pasca digunakan. Dengan demikian secara nyata dampak rokok berupa kejadian hipertensi akan muncul kurang lebih setelah berusia lebih dari 40 tahun, sebab dipastikan setiap perokok yang menginjak usia 40 tahun ke atas telah menghisap rokok lebih dari 20 tahun. Jika merokok dimulai usia muda, berisiko mendapat serangan jantung menjadi dua kali lebih sering dibanding tidak merokok. Serangan sering terjadi sebelum usia 50 tahun (Depkes , 2008).
Jumlah rokok yang dihisap dapat dalam satuan batang, bungkus per hari, terbagi atas 3 kelompok yaitu :
a.    Perokok Ringan, apabila seseorang menghisap kurang dari 10 batang rokok per hari.
b.      Perokok Sedang, apabila seseorang menghisap 10 – 20 batang rokok per hari.
c.       Perokok Berat, apabila seseorang menghisap lebih dari 20 batang rokok per hari (Bustan, 1997).
Hasil penelitian gunawan (2011), pada hasil uji kai kuadrat dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan proporsi kejadian penyakit hipertensi antara responden yang merokok di bandingkan responden yang tidak merokok (p = 0,013). Adapun besar bedanya dapat dilihat dari nilai OR yang besarnya 1,979 ( 95 % CI : 1,183 – 3,311), artinya responden yang merokok mempunyai risiko  mengalami hipertensi 1,979 kali dibandingkan responden yang tidak merokok.

2.7      Hubungan Stres dengan Hipertesi pada lanjut usia
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis, peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Stres yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi (Rohaendi, 2003).
Gangguan stres biasanya timbul secara lamban, tidak jelas kapan mulainya dan sering kali kita tidak menyaddari. Namunmeskipun demikian dari pengalaman praktik psikiatri, para ahli membagi stres tersebut dalam enam tahapan. Setiap tahapan memperlihatkan sejumlah gejala-gejala yang dirasakan oleh orang yang bersangkutan,  hal ini berguna bagi seseorang dalam rangka mengenali gejala stress sebelum memeriksakanya ke dokter. Petunjuk-petunjuk tahaan stres tersebut ditemukan oleh Robert J. Van Amberg (psikiater) sebagai berikut :
1.      Stres tingkat  I
Tahapan ini merupakan tingkat stres yang paling ringan, dan biasanya disertai dengan perasaan- perasaan sebagai berikut :

1.      Semangat besar
2.      Penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya.
3.      Energi dan gugup berlebihan, kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya.
2.      Stres tingkat II
Dalam tahapan ini dampak stres yang menyenangkan mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan dikarenakan cadangan energi tidak lagi cukup sepanjang hari. Keluhan keluhan yang sering dikemukakan sebagai berikut:
a.  Merasa letih saat bangun pagi.
b.      Merasa lelah sesudah bangun siang.
c.       Merasa lelah menjelang sore hari.
d.      Terkadang gangguan dalam system pencernaan (ganguan usus, perut kembung) kadang-kadang jantung berdebar debar.
e.       Perasaan tegang pada otot-otot unggung dan tekuk(belakang leher)
f.       Perasaan tidak bisa santai.
3.      Stres tingkat III
Pada tahap ini keluhan keletihan semakin nampak disertai semakin nampak :
a.       Gangguan usus lebih terasa (sakit perut, mulas, sering ingin ke belakang).
b.      Otot-otot lebih terasa lebih tegang.
c.       Perasaan tegang yang semakin meningkat.
d.      Gangguan tidur (sukar tidur, sering terbangun malam dan sukar tidur kembali atau bangun terlalu pagi).
e.       Badan terassa oyong, rasa-rasa mau pingsan (tidak sampai jatuh pingsan). Pada tahap ini penderita sudah harus berkomunikasi pada dokter, kecuali kalau bebas stres atau tuntutan-tuntutan dikurangi, dan tubuh mendapatkan kesempatan untuk beristirahat atau relaksasi, guna memulihkan suplai energy.
4.  Stres tingkat IV
     Tahap ini sudah menunjukkan keadaan yang lebih buruk yang ditandai dengan cirri-ciri sebagai berikut :
a.       Untuk bisa bertahan sepanjang hari terasa sangat sulit.
b.      Kegiatan–kegiatan yang semula menyenagkan menjadi sangat sulit.
c.       Kehilangan kemampuan untuk menggapai situasi, pergaulan social, dan kegiatan-kegiatan rutin terasa berat.
d.      Tidur semakin sukar, mimpi-mimpi menegangkan, dan sering terbangun dini hari.
e.       Perasaan negativistik.
f.       Kemampuan berkonsentrasi menurun tajam.
g.      Perasaan takut yang tidak dapat dijelaskan, tidak mengerti kenapa.
5.  Stres tingkat V
     Keadaan ini meruakan keadaan yang lebih mendalam dari tahap IV diatas, yaitu :
a.       Keletihan yang mendalam ( hysical and psychological axhaustion).
b.      Untuk pekerjaan-pekerjaan sederha saja terasa kurang mampu.
c.       Gangguan system pencernaan ( sakit maag dan usus) lebih sering, sukar buang air besar atau sebaliknya feses cair dan sering kebelakang.
d.      Perasaan takut yang semakin menjadi, mirip panik.
6.  Stres tingkat VI
          Tahapan ini merupakan tahap puncak yang merupakan keadaan gawat darurat. Tidak jarang penderita pada tahap ini dibawa ke ICCU. Gejal-gejala pada tahap ini sangat mengerikan, yaitu :
a.       Debar jantung terasa sangat keras, hal ini disebabkan zat adrenalin yang dikeluarkan, karena stress tersebut cukup tinggi dalam peredaran darah.
b.      Nafas sesak, megap-megap.
c.       Badan gematar, tubuh dingin,keringat bercucuran.
d.      Tenaga untuk hal-hal yang ringan sekalipun tidak kuasa lagi, pingsan atau collaps (Yosep iyus, 2005)
      Salah satu cara untuk mengetahui responden mengalami stres atau tidak stres, dapat digunakan skala ukur DASS ( Depression ansiety and stress scale) dengan perhitungan nilai skor kuesioner yaitu sebagai berikut :
1.      Normal, dengan nilai skor 0 – 14
2.      Stres ringan, dengan nilai skor 15 – 18
3.      Stres sedang, dengan nilai skor 19 – 25
4.      Stres berat, dengan nilai skor 26 – 33
5.      Stres sangat berat, dengan nilai skor 34+ (Lovibond, S.H. & Loviband, P.F. (1995)
      Hasil penelitian didapatkan bahwa responden yang mengalami stres terhadap jenis hipertensi, didapatkan bahwa responden pre hipertensi yang mengaku tidak mengalami stress (6,86%), sementara yang menderita hipertensi grade I yaitu 37,25%, dan yang menderita hipertensi grade II yaitu 22,57% (Sigarlaki, 2006).
     Hal ini didukung dengan hasil penelitian tentang Hubungan keadaan jiwa yang stres dapat meningkatkan risiko kejadian penyakit hipertensi pada usia lanjut 2,926 kali (OR = 2,926; 95 % CI = 1,696 – 5,049) dibandingkan dengan responden yang keadaan jiwanya tidak stres dan bermakna secara statistik (Dewi, 2008).



2.8      Kerangka teori
     Gambar 2.1. Kerangka teori Hubungan Gaya hidup dengan kejadian penyakit hipertensi pada lanjut usia :

Obesitas

Olahraga

Riwayat keluarga

Konsumsi Tinggi Natrium







Merokok

Konsumsi Alkohol

Etnis

Umur

Stres

Jenis kelamin

Konsumsi lemak

Kelainan ginjal

Kafein

Kolesterol tinggi

Nutrisi

Zat Toksin

Narkoba

HIPERTENSI
 












Sumber : Susilo & Wulandari, 2011
2.9      Kerangka konsep
            Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan konsep – konsep yang diamati atau di ukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2010).





Gambar 2.2 Kerangka konsepnya penelitian ini adalah sebagai berikut :
Variabel Independen                                       Variabel Dependen

GAYA HIDUP

GAYA
HIDUP


Kejadian penyakit Hipertensi pada lanjut usia


Konsumsi Natrium (Na)

Olahraga

Merokok

Stres
 






        
 Sumber : Notoatmodjo, 2010

2.10  Hipotesis
     Hipotesis adalah jawaban atau pernyataan sementara yang perlu diuji kebenarannya. Berdasarkan kerangka konsep diatas, maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut :
1.      Ha =   ada hubungan antara kejadian penyakit hipertensi dengaan
lanjut usia.
                        Ho =   tidak ada hubungan antara kejadian penyakit hiertensi
dengan lanjut usia

2.      Ha =   ada  hubungan  antara konsumsi natrium dengan kejadian
                               penyakit hipertensi pada lanjut usia.
Ho  = Tidak  ada  hubungan  antara  konsumsi natrium  dengan
                               kejadian    penyakit hipertensi pada lanjut usia.

3.      Ha  =  ada hubungan antara olahraga dengan kejadian penyakit
hipertensi pada lanjut usia.
Ho  = Tidak  ada  hubungan  antara  olah raga  dengan  kejadian
          penyakit hipertensi pada lanjut usia.

4.      Ha  = ada  hubungan  antara  kebiasaan  merokok  dengan  kejadian
                               penyakit hipertensi pada lanjut usia.
Ho =  Tidak  ada    hubungan   antara   kebiasaan  merokok  dengan
                               kejadian Penyakit hipertensi pada lanjut usia.

5.      Ha  =  ada  hubungan   antara   stres   dengan   kejadian   penyakit
          hipertensi pada lanjut usia.
Ho =  Tidak   ada    hubungan   antara    stres   dengan     kejadian
Penyakit hipertensi pada lanjut. Usia.

















BAB III  
METODELOGI PENELITIAN
3.1  Populasi dan sampel Penelitian
3.1.1 Populasi Penelitian
     Populasi dalam penelitian ini adalah semua penduduk usia lanjut ( usia ≥ 60  tahun keatas ) di wilayah kerja Puskesmas Simpang Pematang kabupaten Mesuji dengan jumlah populasi  1726 orang usia lanjut.
3.1.2        Sample Penelitian
1.      kreteria Sampel
6.      usia Lanjut berusia  ≥ 60 tahun
7.      usia Lanjut tercatat penduduk dan tinggal didaerah wilayah kerja puskesmas simpang pematang
8.      Jenis kelamin laki-laki dan perempuan
9.      Bersedia menjadi objek penelitian atau responden

2.      Perhitungan dan jumlah sampel
      Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 187 usia lanjut, dalam menentukan jumlah sampel ini dugunakan rumus estimasi proporsi pada sampel acak sederhana dengan presisi mutlak (Hoster & Klar) dengan rumus sebagai berikut :




                      n  =        Z1 2 -  Î±/2  *  P * ( 1 P ) N
                  d 2 (N–1) + Z12α/2 x P (1–P)



KET :
                    n           =  Besarnya sampel
                N           =  Besarnya poulasi
                         =  Proporsi sifat populasi misalnya
                                   Prevalensi, Bila tidak diketahui gunakan 0,5 (50%)
                Z1 2 -  Î±/2 =   Standar deviasi normal pada derajat kepercayaan
                                            (kemaknaan 95% adalah 1.96)
                    d           =   Tingkat penyimpangan yang diinginkan 0.05 atau 0.01

Jadi :
n  :                  1,96 * 0,5 (1-0,5) 1726
              (0,05)2 *(1726 – 1) + 1,96 * 0,5 (1- 0,5)
    : 169

Faktor Drop Out :
N*  :  n * 1/1-f  
Ket :

N*               : jumlah sampel total
n                  : Besar sampel perhitungan
f                   : perkiraan proporsi drop out sebesar 10% (f=0,1)

    jadi : 169 * 1/ 1-0,1
           : 187

Teknik sampling dalam penelitian ini adalah Systematic Random Sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan areal wilayah yaitu di wilayah kerja puskesmas Simpang Pematang yang terdiri dari 9 desa dengan jumlah usia lanjut yang ada pada masing-masing desa adalah sebagai berikut :
1.      Desa Simpang Pematang sebanyak 414  Usia lanjut
2.      Desa Margo Rahayu sebanyak 245 Usia lanjut
3.      Desa Wira Bangun sebanyak 232 Usia lanjut
4.      Desa Agung Batin sebanyak 205 Usia lanjut
5.      Desa Budi Aji sebanyak 187 Usia lanjut
6.      Desa Jaya Sakti sebanyak 139 Usia lanjut
7.      Desa Bangun Mulya sebanyak 138 Usia lanjut
8.      Desa Rejo Binangun sebanyak 91 Usialanjut
9.      Desa Harapan Jaya sebanyak 75 Usia lanjut
Jadi jumlah sampel dari setiap Desa adaalah sebagai berikut :
1.      Desa Simpang Pematang        = 414/1726 *187   = 45
2.      Desa Margo Rahayu              = 245/1726 * 187  = 27
3.      Desa Wira Bangun                 = 232/1726 * 187  = 25
4.      Desa Agung Batin                  = 205/1726 * 187  = 22
5.      Desa Budi Aji                                    = 187/1726 * 187  = 20
6.      Desa Jaya Sakti                       = 139/1726 * 187  = 15
7.      Desa Bangun Mulya              = 138/1726 * 187  = 15
8.      Desa Rejo Binangun              = 91/1726 * 187    = 10
9.      Desa Harapan Jaya                  = 75/1726 * 187     = 8
Jadi jumlah total keseluruhan 187 responden dari seluruh desa di wilayah kerja Puskesmas Simpang Pematang Kab. Mesuji Provinsi Lampung.

3.2     Metodelogi penelitian
3.2.1 Rencana penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain analitik pendekatan cross sectional (potong lintang) dimana variabel bebas (Independent variable) yaitu gaya hidup serta variabel terikat (dependent variable) yaitu kejadian penyakit hipertensi pada usia lanjut yang terjadi pada objek  penelitian diukur atau dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan pada saat penelitian dengan menggunakan kuesioner, tensimeter dan stetoskop  (Notoadmodjo, 2010).

3.2.2 Tempat dan waktu penelitian
1.      Lokasi penelitian dilakukan di Wilayah kerja Puskesmas Simpang  Pematang kabupaten Mesuji provinsi Lampung.
2.      Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Maret – Mei 2013

3.2.3 Variabel dan Definisi Oprasional Variabel
Variable
Definisi Oprasional
Cara
Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala
Kejadian penyakit Hipertensi pada Lanjut Usia
Suatu gangguan pada system peredarah darah yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah yang terjadi pada usia ≥ 60 tahun.
Mengukur tekanan darah 2 x dalam waktu 5-10 menit.
Tensi darah dan stetoscop
0 = <140 / <90 = Normal

1= ≥ 140 / ≥90 = Hipertensi

Ordinal
Konsumsi Natrium






Suatu kebiasan mengkonsumsi makanan yang mengandung garam ≥ 3 gram per hari atau setara dengan 2400 mg natrium (1 sdt/hari)

Wawancara terhadap responden dengan menggunakan quesioner
Quesioner
0  : rendah natrium
1 : Tinggi natrium
Ordinal
Olahraga
Kegiatan sehari-hari yang dilakukan melalui gerakan tubuh yang teratur yang menyehatkan dan menyegarkan badan
Wawancara terhadap responden dengan menggunakan quesioner
Quesioner
0: Aktif : jika > nilai median
1 : Tidak aktif : jika ≤ nilai median
Ordinal
Kebiasaan Merokok
Kebiasaan menghisap tembakau yang dilakuka setiap hari
Wawancara terhadap responden dengan menggunakan quesioner
Quesioner
0 : Tidak : jika tidak merokok
1:Ya : jika merokok

Ordinal
Stres
suatu tekanan fisik maupun psikis atau kejadian yang tidak menyenangkan yang terjadi pada diri dan lingkungan di sekitar yang berlangsung terus menerus sehingga kita tidak dapat mengatasinya secara efektif
Wawancara terhadap responden dengan menggunakan quesioner
Quesioner
0 : tidak :  jika ≤ nilai median
1 : ya : jika > nilai median
Ordinal

3.3.4    Jenis dan Sumber Data
1.      Jenis Data
1.    Data Primer
Yaitu data yang diperoleh dari mengukur tekanan darah dengan tensi meter,stetoscop dan hasil wawancara dengan menggunakan quesioner kepada responden yang meliputi kebiasaan mengkonsumsi garam(Na), olahraga, kebiasaan merokok, dan stress.
2.    Data sekunder
          Yaitu data yang diperoleh dari literatur yang berasal dari Puskesmas Simpang pematang berkaitan dengan angka kejadian penyakit hipertensi pada Lanjut Usia dan Kecamatan Simpang Pematang tentang jumlah Lanjut usia.
2.   Sumber Data
1)             Sumber data diperoleh dari pengukuran tekanan darah dan wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan questioner yang meliputi kebiasaan mengkonsumsi garam, olahraga, kebiasaan merokok, dan stres.
2)             Literatur yang berkaitan dengan angka kejadian penyakit hipertensi yang berasal dari : Profil Kesehatan Simpang pematang, Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kab. Mesuji, Profil Kesehatan Provinsi Lampung dan Data kecamatan Simpang Pematang mengenai jumlah penduduk.

3.2.5      Alat dan Teknik Pengumpulan Data
        Pada penelitian hubungan gaya hidup dengan kejadian penyakit hipertensi pada usia lanjut di wilayah kerja Simpang Pematang, dilakukan peneliti dan dibantu oleh beberapa tenaga kesehatan puskesmas dan instansi kecamatan yang terkait. Alat pengumpul data menggunakan instrumen berupa tensimeter, stetoscop dan lembar quesioner yang dibuat oleh peneliti, terdiri dari 5 bagian yaitu :
a.       Identitas responden (karakteristik umum) dan tekanan darah pada saat diteliti
b.      Tentang konsumsi natrium
c.       Tentang Olahraga
d.      Tentang kebiasaan merokok
e.       Tentang stress

3.2.6       Pengolahan dan Analisa Data
1.    Pengolahan Data
         Data yang telah didapatkan dari responden dikumpulkan kemudian dikoreksi apakah jawaban telah diisi semua. Bila telah terisi semua selanjutnya dilakukan pengolahan data melalui langkah-langkah sebagai berikut :
1.      Editing Data
Yaitu kegiatan dengan pengecekan isian formulir quesioner yang telah diisi oleh peneliti hasil dari intervie kepada responden berkaitan dengan kemungkinan adanya kesalahan dan melihat kelengkapan, kejelasan dan konsistensi kebenaran datanya.
2.      Coding Data
Yaitu mengubah data bentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan dan dapat juga diartikan memberikan kode pada setiap jawaban yang terdapat pada lembar observasi untuk memudahkan pengolahan data.
3.      Entry Data
Data tersebut kemudian diolah menggunakan SPSS. Data yang diambil bersifat kuantitatif dengan memberikan nilai pada setiap jawaban di masing-masing pertanyaan. Skor tersebut diolah dengan membuat pengelompokan berdasarkan variabel-variabel yang hendak diukur.
4.      Cleaning Data
Pengecekan kembali data untuk melihat ketidak lengkapan data sehingga kesalahan dalam proses selanjutnya dapat dihindari.



3.2.7     Analisis Data
1.          Analisis Univariat
Analisa univariat digunakan untuk menjelaskan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti. Data yang diperoleh dinyatakan dalam bentuk frekuwensi dan proporsi serta disajikan dalam bentuk tabel.
2.          Analisis Bivariat
Analisa bivariat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara satu variabel bebas dengan satu variabel terikat. Pada penelitian ini uji yang digunakan adalah :
a.           Chi-Square (X2) adalah jumlah selisih antara frekwensi yang diperoleh dari hasil pengamatan berbanding terbalik dengan frekwensi yang diharapkan dalam sampel sebagai pencerminan dari frekwensi yang diharapkan dari populasi.
                                                  X2 = ∑   ( O – E )²
                                                                                  E
Keterangan :
X2 = Chi Square
   = Penjumlahan
O   = Frekwensi yang diperoleh dari sampel atau hasil 
         pengamatan
E = Frekwensi  yang  diharapkan  dalam  sampel  sebagai  pencerminan  dari frekwensi yang diharapkan dari populasi

b.          OR (Odds Ratio) adalah hubungan antara suatu kejadian dengan faktor yang menyebabkan, dapat dinyatakan dan dibandingkan dengan Odss Ratio. Odds Ratio dalam desain Cross Sectional digunakan sebagai prediksi.
                              Tabel 3.1. Tentang perhitungan OR
Variabel
Kasus
Total
Hipertensi
Tidak Hipertensi
Buruk
a
c
a + c
Baik
b
d
b + d
Total
a + b
c + d
T


Interprestasi    OR =  ad    
                                                       bc
Bila OR = 1 estimasi bahwa tidak ada asosiasi antara gaya hidup dengan kejadian penyakit hipertensi pada usia lanjut.
Bila OR > 1 estimasi bahwa ada asosiasi positif antara gaya hidup dengan kejadian penyakit hipertensi pada usia lanjut.

Bila OR < 1 estimasi bahwa ada asosiasi negatif antara gaya hidup dengan kejadian penyakit hipertensi pada usia lanjut.